Senin, 03 Juli 2017

7 KESALAHAN DALAM AQIDAH


Kesalahan adalah keburukan yang sering dilakukan oleh manusia. Rasulullah bersabda, “Setiap anak Adam (yakni: manusia-ed) pernah melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman dan yang lainnya)

Mengenal kesalahan itu penting. Mengapa? Hal ini bisa menjadi sarana untuk menyadarkan pelaku sehingga bertaubat atas penyimpangannya. Juga sebagai peringatan agar tidak terjerumus ke dalam penyimpangan. Bukankah banyak kita saksikan orang yang bertaubat setelah tahu bahwa apa yang ia lakukan sebelumnya adalah suatu kesalahan?

Hudzaifah bin al-Yaman pernah bertanya tentang keburukan dengan tujuan mulia. Ia berkata, “Orang-orang bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan sementara aku bertanya kepada beliau tentang keburukan, karena khawatir hal tersebut akan menimpaku”  (HR. al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra)

Kali ini kita ketengahkan 7 contoh kesalahan terkait masalah akidah yang boleh jadi kita atau saudara kita kaum muslimin di penjuru negeri Indonesia ada yang belum mengetahuinya. Harapannya adalah semoga Allah membuka pintu hati kita untuk menyadarinya dan kembali ke jalan yang benar.

1. Istighatsah (Meminta Bantuan) kepada Orang yang Sudah Mati.

Misalnya, ketika mengalami kesusahan, seseorang mengatakan, “Wahai syaikh Abdul Qadir Jaelani, bantulah aku.” Ini merupakan kesalahan karena istighatsah adalah ibadah yang tidak semestinya dilakukan kecuali kepada Allah. Allah berfirman, yang artinya, “(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu” (QS. al-Anfal: 9). Ubadah bin Shamit berkata, “Abu Bakar berkata, ‘Bangkitlah kalian kita lakukan istighatsah kepada Rasulullah karena ulah si munafiq ini.’” (Mendengar hal ini) Maka Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya istighatsah itu bukan kepadaku, tapi istighatsah itu hanya dilakukan kepada Allah azza wajalla saja” (Majma’u az-Zawaid wa Manba’u al-Fawaid, al-Hafidz al-Haitsami)

2. Membenarkan Dukun

Ini adalah kesalahan. Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa datang kepada peramal atau dukun lalu membenarkan apa yang diucapkannya, maka ia telah kufur dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad.”(HR. Ahmad dan al-Hakim)

3. Menyembelih Karena Jin
Ada orang pergi ke dukun untuk berobat. Dukun itu meminta seekor hewan dengan sifat tertentu (seperti, ayam hitam mulus) dan sejenisnya untuk disembelih lalu darahnya dilumurkan pada orang yang sakit, untuk meminta keridhaan jin. Ini diharamkan, dan pelakunya dilaknat, Nabi bersabda,

لَعَنَ اللَّهُ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ

“Allah melaknat siapa yang menyembelih karena selain Allah.”(HR.Muslim)

4. Meminta Syafa’at dari selain Allah

Misalnya, meminta syafa’at kepada nabi atau wali, dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, berilah syafa’at kepadaku”. Atau, “Wahai para wali Allah, berilah syafa’at kepadaku.” Ini kesalahan, karena syafa’at itu hanya milik Allah dan untuk siapa yang diberi ijin oleh-Nya. Allah berfirman, artinya, “Bahkan mereka mengambil pemberi syafa’at selain Allah. Katakanlah: “Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatu pun dan tidak berakal?” (QS. az-Zumar: 43)

5. Keyakinan dalam ungkapan

Berikut ini contoh ungkapan yang dikatakan bertuah bila diucapkan sekian kali,

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّم سَلاَماً تاَماً عَلَى سَيِدِناَ مُحَمَّدٍ الَّذِي تَنْحَلُ بِهِ العُقَدُ وَتَنفَرِجُ بِهِ الكُرَبُ وَتُقضَى بِهِ الحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَغَائِبُ وَحُسْنُالخَوَاتِيمِ وَيُسْتَسقَى الغَمَامُ بِوَجهِهِ الكَرِيمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ عَدَدَ كُلِّ مَعْلُومٍ لَكَ

Allahumma shalli shalatan kamilatan Wa sallim salaman taman ‘ala sayyidina Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdha bihil hawa-iju Wa tunalu bihir ragha-ibu wa husnul khawatimi wa yustasqal ghamamu bi wajhihil karimi, wa ‘ala alihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’lumin laka.

Artinya, “Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, kepada pemimpin kami Muhammad, yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”

Syaikh Muhammad Jamil Zainu berkata,“Sesungguhnya akidah tauhid yang diserukan al-Qur’an al-Karim dan diajarkan Rasulullah kepada kita mewajibkan setiap muslim untuk meyakini bahwa Allah semata yang berkuasa untuk melepaskan ikatan di dalam hati, menyingkirkan kesusahan, memenuhi segala macam kebutuhan dan memberikan permintaan orang yang sedang meminta kepada-Nya. Oleh sebab itu seorang muslim tidak boleh berdoa kepada selain Allah demi menghilangkan kesedihan atau menyembuhkan penyakitnya meskipun yang diserunya adalah malaikat atau Nabi yang dekat (dengan Allah). Al-Qur’an ini telah mengingkari perbuatan berdoa kepada selain Allah baik kepada para rasul ataupun para wali. Allah berfirman, artinya, “Bahkan sesembahan yang mereka seru (selain Allah) itu justru mencari kedekatan diri kepada Rabb mereka dengan menempuh ketaatan supaya mereka semakin bertambah dekat kepada-Nya dan mereka pun berharap kepada rahmat-Nya serta merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya siksa Rabbmu adalah sesuatu yang harus ditakuti.” (QS. al-Isra’: 57). Para ulama Tafsir mengatakan ayat ini turun terkait dengan mereka yang berdoa kepada Isa al-Masih, memuja malaikat atau jin-jin yang shalih (sebagaimana diceritakan Ibnu Katsir).”
“Bagaimana Rasul bisa merasa ridha kalau beliau dikatakan sebagai orang yang bisa melepaskan ikatan hati dan bisa melenyapkan berbagai kesusahan padahal al-Qur’an saja telah memerintahkan beliau untuk berkata tentang dirinya, artinya, “Katakanlah: Aku tidak berkuasa atas manfaat dan madharat bagi diriku sendiri kecuali sebatas apa yang dikehendaki Allah. Seandainya aku memang mengetahui perkara ghaib, maka aku akan memperbanyak kebaikan dan tidak ada keburukan yang akan menimpaku. Sesungguhnya aku hanyalah seorang pemberi peringatan dan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. al-A’raf :188)

Ada seseorang yang datang menemui Rasulullah dan berkata, “Atas kehendak Allahdan kehendakmu wahai Rasul”, maka beliau menghardiknya sambil berkata, “Apakah kamu ingin menjadikan aku sebagai sekutu bagi Allah? Katakan: Atas kehendak Allah semata.” (HR. an-Nasa’i dengan sanad hasan)

Seandainya kita ganti kata bihi

(بِهِ)

(dengan sebab beliau) dengan biha

(بِهَا)

(dengan sebab shalawat) maka tentulah maknanya akan benar. Bacaannya menjadi seperti ini,

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّم سَلاَماً تاَماً عَلَى سَيِدِناَ مُحَمَّدٍ الَّتي تُحِلُ بِهَا العُقَد

Allahumma shalli shalatan kamilatan wa sallim salaman tamman ‘ala sayyidina Muhammadin Allati tuhillu bihal ‘uqadu (yang ikatan-ikatan hati menjadi terlepas karena shalawat)

Ini benar, karena shalawat kepada Nabi adalah ibadah yang bisa dijadikan sarana untuk bertawassul memohon dilepaskan dari kesedihan dan kesusahan.

6. Meramalkan Sial Karena Mendengar Suara Burung

Sebagian orang, ketika mendengar suara burung hantu, mengatakan, “Semoga baik-baik saja, siapa yang mati pada hari ini? Apa yang bakal terjadi hari ini? Ini kesalahan, karena Rasulullah bersabda, “Thiyarah (meramalkan kesialan) adalah syirik.” (HR. Abu Dawud dan lainnya).

7. Mengusap Kuburan untuk Mencari Keberkahannya

Ada orang yang pergi ke kuburan para wali atau orang shalih untuk mengusapnya dan mencari keberkahannya. Ini adalah kesalahan. Abu Waqid al-Laitsi berkata, “Kami keluar bersama Rasulullah ke Hunain dan kami masih baru masanya dengan kekafiran (baru masuk Islam-red), sedangkan kaum musyrik memiliki sebuah pohon bidara yang mereka biasa beri’tikaf di sisinya dan menggantungkan senjata mereka padanya sehingga disebut Dzatu Anwath. Kami berkata ketika melewati pohon itu, “Wahai Rasulullah, buatlah untuk kami Dzatu Anwath  sebagaimana mereka memiliki Dzatu Anwath.  Mendengar itu beliau bersabda, “Allahu akbar! Inilah sunnah-sunnah (tradisi-tradisi itu). Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian telah mengatakan sebagaimana yang pernah dikatakan Bani Israil kepada Musa; Buatkanlah tuhan untuk kami sebagaimana mereka memiliki beberapa tuhan. “Musa menjawab, sesungguhnya kalian adalah kaum yang bodoh.” (HR. at-Tirmidzi dan Ahmad).

Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i berkata, “Dosa besar ke 93, 94, 95, 96, 97, dan 98 adalah menjadikan kuburan sebagai masjid, menyalakan api (penerangan) di kuburan, menjadikan kuburan sebagai berhala, thawaf, mengusap-usap kuburan, dan shalat ke arah kuburan.” (Az-Zawajir ‘an iqtiraf al-Kabair, 1/154).

Imam an-Nawawi menukil kesepakatan ulama tentang dilarangnya mengusap kuburan Nabi dalam rangka mencari barakah. Beliau berkata, “Tidak boleh thawaf di kuburan Nabi, dan dibenci menempelkan perut dan punggung di dinding kuburan, hal ini telah dikatakan oleh al-Halimy dan yang selainnya. Dan dibenci mengusap kuburan dengan tangan dan dibenci mencium kuburan…”

“Sungguh yang mulia al-Fudhail bin ‘Iyadh telah berbuat baik dalam perkataannya,“Ikutilah jalan petunjuk dan tidak masalah jika jumlah pengikutnya yang sedikit…Barangsiapa yang terbetik di benaknya bahwa mengusap-usap kuburan dengan tangan dan perbuatan yang semisalnya lebih berkah, maka ini karena kebodohan dan kelalaiannya, karena keberkahan itu pada sikap mengikuti syariat dan perkataan para ulama. Bagaimana mungkin keutamaan bisa diraih dengan menyelisihi kebenaran??” (Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 8/257) Wallahu a’lam. (Redaksi)

[Sumber: al-Kalimatu an-Nafi’ah Fil akhtha-i asy Sya-i’ah, Wahid Abdussalam Bali. Edisi Indonesia: 474 Kesalahan Umum dalam Akidah dan Ibadah Beserta Koreksinya,penerbit: Darul Haq, Jakarta dan sumber lainnya]

Artikel alsofwah.or.id

Sabtu, 17 Juni 2017

HUKUM MEMAKAI MUKENA WARNA-WARNI

bagaimana hukumnya memakai mukna yang berwarna warni?

Untuk menemukan hukum masalah ini maka kita harus meninjau dari segi Ijma Ulama dalam metode melahirkan sebuah hukum. Dalam masalah hukum tentu saja kita tidak boleh gegabah mengambil langkah, terlebih yang kita bahas tidak ada Nas yang Qoth’i. Mari sejenak kita telusuri perlahan-lahan dalam pendalilan.

Bolehnya Memakai Warna Warni

وَكُنْتُ آتِي عَائِشَةَ أَنَا وَعُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وَهِيَ مُجَاوِرَةٌ فِي جَوْفِ ثَبِيرٍ قُلْتُ وَمَا حِجَابُهَا قَالَ هِيَ فِي قُبَّةٍ تُرْكِيَّةٍ لَهَا غِشَاءٌ وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَهَا غَيْرُ ذَلِكَ وَرَأَيْتُ عَلَيْهَا دِرْعًا مُوَرَّدًا

Dari jalur Atha’ dia berkata: “Dan aku bersama ‘Ubaid bin ‘Umair pernah menemui ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha yang sedang berada di sisi Gunung Tsabir. Aku (Ibnu Juraij) bertanya: “Hijabnya apa?” Ia menjawab: “Dia berada di dalam sebuah tenda kecil. Tenda itu memiliki penutup dan tidak ada pembatas antara aku dan beliau selain penutup itu, dan aku melihat beliau mengenakan gamis berwarna mawar.”

أن رفاعة طلق امرأته فتزوجها عبد الرحمن بن الزبير القرظي قالت عائشة وعليها خمار أخضر فشكت إليها وأرتها خضرة بجلدها فلما جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم والنساء ينصر بعضهن بعضا قالت عائشة ما رأيت مثل ما يلقى المؤمنات لجلدها أشد خضرة من ثوبها

”Ikrimah menyebutkan : Bahwasanya Rifa’ah menceraikan istrinya yang kemudian dinikahi oleh ’Abdurrahman bin Az Zubair Al Quradhi. ’Aisyah berkata: ”Dia memakai khimar yang berwarna hijau, namun ia mengeluh sambil memperlihatkan warna hijau pada kulitnya”. Ketika Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam tiba  dan para wanita menolong satu kepada yang lainnya  maka ’Aisyah berkata: ”Aku tidak pernah melihat kondisi yang terjadi pada wanita-wanita beriman, warna kulit mereka lebih hijau daripada bajunya (karena kelunturan).” (HR Al Bukhari no. 5487).

أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثِيَابٍ فِيهَا خَمِيصَةٌ سَوْدَاءُ صَغِيرَةٌ فَقَالَ مَنْ تَرَوْنَ أَنْ نَكْسُوَ هَذِهِ فَسَكَتَ الْقَوْمُ قَالَ ائْتُونِي بِأُمِّ خَالِدٍ فَأُتِيَ بِهَا تُحْمَلُ فَأَخَذَ الْخَمِيصَةَ بِيَدِهِ فَأَلْبَسَهَا وَقَالَ أَبْلِي وَأَخْلِقِي وَكَانَ فِيهَا عَلَمٌ أَخْضَرُ أَوْ أَصْفَرُ فَقَالَ يَا أُمَّ خَالِدٍ هَذَا سَنَاهْ وَسَنَاهْ بِالْحَبَشِيَّةِ حَسَنٌ

Dibawakan kepada Nabi sebuah kain yang di dalamnya ada pakaian kecil yang berwarna hitam. Maka beliau bersabda, “Menurut kalian siapa yang pantas kita pakaikan baju ini?” Maka para sahabat diam. Beliau bersabda, “Bawa Ummu Khalid ke sini,” maka Ummu Khalid pun dibawa kepada beliau, lalu beliau mengambil baju tersebut dan memakaikannya. Lalu beliau bersabda, “Semoga tahan lama hingga Allah menggantinya dengan yang baru.” Pada pakaian tersebut ada corak yang berwarna hijau atau kuning, dan beliau bersabda: “Wahai Ummu Khalid, ini sanah wa-sanah.” Sanah adalah perkataan bahasa Habasyah yang berarti bagus.”(HR.Bukhari nomor 5375).

عن أم سلمة قالت : لما نزلت يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ خرج نساء الأنصار كأن على رؤوسهن الغربان من الأكسية

” Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha ia berkata, Ketika turun ayat “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (QS Al Ahzaab: 59), maka keluarlah wanita-wanita Anshar (dari rumah mereka) dimana seakan-akan di atas kepala mereka terdapat burung gagak dari pakaian (warna hitam) yang mereka kenakan.” (HR Abu Dawud, nomor 4101, shahih).

Larangan Menggunakan Warna Nyorak

Telah sampai kepada kita sebuah peringatan itu, yaitu menghindari pakaian yang nyorak sehingga bisa mengundang perhatian orang banyak. Beliau menyampaikan peringatan itu dengan ucapan berikut :

مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Barangsiapa yang memakai pakaian syuhroh di dunia, maka Allah akan memberinya pakaian hina pada hari kiamat.” (Ahmad, Abu Daud, Nasai dalam Sunan Al-Kubro statusnya hasan).

والمراد أن لا يلبس نهاية ما يكون من الحسن والجودة في الثياب على وجه يشار إليه بالأصابع ، أو يلبس نهاية ما يكون من الثياب الخَلِقِ – القديم البالي – على وجه يشار إليه بالأصابع , فإن أحدهما يرجع إلى الإسراف والآخر يرجع إلى التقتير ، وخير الأمور أوسطها

“Maksud hadis, seseorang tidak boleh memakai pakaian yang sangat bagus dan indah, sampai mengundang perhatian banyak orang. Atau memakai pakaian yang sangat jelek “lusuh”, sampai mengundang perhatian banyak orang. Yang pertama, sebabnya karena berlebihan sementara yang kedua karena menunjukkan sikap terlalu pelit. Yang terbaik adalah pertengahan.” (al-Mabsuth, 30:268)

Kita bisa mengambil kesimpulan dari keterangan di atas, bahwa pakaian yang mengundang perhatian banyak orang termasuk jenis pakaian syuhrah. Karena itu, dikhawatirkan mereka yang memakai mukena warna-warni atau semacamnya, termasuk dalam ancaman hadis di atas. Allahu a’lam, perlu diwaspadai saja.

ENAM BEKAL MENUNTUT AGAMA MENURUT IMAM SYAFE'I

Enam bekal yang harus dimiliki para penuntut ilmu agama, agar dapat meraih kesuksesan dalam menuntut ilmu. Beliau Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

أَخِي لَنْ تَنَالَ العِلْمَ إِلاَّ بِسِتَّةٍ سَأُنْبِيْكَ عَنْ تَفْصِيْلِهَا بِبَيَانٍ: ذَكَاءٌ وَحِرْصٌ وَاجْتِهَادٌ وَدِرْهَمٌ وَصُحْبَةُ أُسْتَاذٍ وَطُوْلُ زَمَانٍ

“Wahai saudaraku… ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara yang akan saya beritahukan perinciannya: (1) kecerdasan, (2) semangat, (3) sungguh-sungguh, (4) berkecukupan, (5) bersahabat (belajar) dengan ustadz, (6) membutuhkan waktu yang lama.”

Adapun penjelasannya saya rangkum dari buku “Bekal bagi Penuntut Ilmu” karya Abdullah bin Shalfiq Adh-Dhafiri terbitan Maktabah Al Ghuroba dan Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu  karya Abu Anas Majid Al Bankani terbitan Darul Falah.

1. Kecerdasan . Kecerdasan yang ada pada diri seseorang terkadang memang sudah sebagai perangai yang Allah berikan kepadanya. Sebagaimana kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada Ibnu Abbas. Terkadang kecerdasan ada karena memang harus diusahakan. Bagi orang yang sudah memiliki kecerdasan maka tinggal menguatkannya, namun apabila belum punya hendaknya ia melatih jiwanya untuk berusaha mendapatkan kecerdasan tersebut. Kecerdasan adalah sebab di antara sebab-sebab yang paling kuat membantu seseorang menggapai ilmu, memahami dan menghafalnya. Memilah-milah permasalahn, men-jama’ (menggabungkan) dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dan yang selain dar i hal itu

2. Semangat untuk mendapatkan Ilmu. Allah Azza wa jalla berfirman:

إِنَّاللّهَ مَعَالَّذِينَاتَّقَواْوَّالَّذِينَهُممُّحْسِنُونَ

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan” (An Nahl: 128)

Seseorang apabila mengetahui nilai pentingnya sesuatu pasti ia akan berusaha dengan semangat untuk mendapatkannya. Sedangkan ilmu adalah sesuatu yang paling berharga yang dicari oleh setiap orang. Penuntut ilmu hendaknya memiliki semangat membaja untuk menghafal dan memahami ilmu , duduk bermajelis dengan para ulama dan mengambil ilmu langsung dari mereka, memperbanyak membaca, menggunakan umur dan waktunya semaksimal mungkin serta menjadi orang yang paling pelit menyia-nyiakan waktunya.

Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu  adalah salah satu contoh shahabat yang bersemangat sekali dalam menuntut Ilmu. Di kala saudara-saudaranya di kalangan Muhajjirin sibuk berdagang di pasar dan saudara-saudara dari kalangan Anshar sibuk bekerja, Abu Hurairah telah kenyang dengan ilmubersama Rasulullah Shalallahu alahi wasallam  dan hadir saat-saat saudara-saudara mereka tidak hadir serta menghafal apa yang tidak mereka hafal.

3. Bersungguh-sungguh dalam menuntut Ilmu. Menjauhi segala bentuk kemalasan dan kelemahan serta berjihad melawan hawa nafsu dan setan itu senantiasa merintangi dan melemahkan semangat dalam menuntut ilmu. Diantara sebab-sebab yang membantu seseorang untuk giat, tekun, bersungguh-sungguh adalah membaca biografi kehidupan para ulama, bagaimana kesabaran dan ketahanan mereka menanggung penderitaan serta kisah mereka dalam rihlah (mengembara) dari satu negeri ke negeri lain dalam rangka mencari ilmu dan hadist.

Diriwayatkan dari Fadhal bin Ziad, dia berkata, “Ahmad bin Hambal Rahimahullah berkata, “Tidak seorangpun pada zaman Ibnul Mubarak yang lebih gigih dalam menuntut ilmu selain dirinya. Dia pergi ke Yaman, Mesir, Syam, Basrah dan Kuffah. Dia adalah termasuk orang yang meriwayatkan ilmu dan pantas untuk itu. Dia belajar dari yang tua maupun yang muda.

4. Memiliki Bekal yang cukup. Para ulama jaman dahulu rela mengorbankan harta bendanya untuk melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Abu Hatim yang menjual bajunya untuk dapat menuntut Ilmu, Imam Malik bin Anas menjual kayu atap rumahnya untuk bisa menuntut ilmu, bahkan Al Hamadzan Al Atthar, seorang syaikh dari Hamadzan menjual seluruh warisannya untuk biaya menuntut ilmu. Penunutut ilmu mencurahkan segala kemampuan baik materi atau apapun yang ia miliki hingga ia menggapai cita-citanya hingga ia mumpuni dalam bidang keilmuan dan kekuatannya: baik hafalan, pemahaman maupun kaidah dasarnya.

5. Memiliki Guru Pembimbing. Ilmu itu diambil dari lisan para ulama. Seorang penuntut ilmu agar kokoh dalam menuntut ilmu hendaknya ia membangunnya di atas dasar-dasar yang benar, hendaknya ia bermajelis dengan para ulama, mengambil ilmu langsung dari lisan mereka. Sehingga ia menuntut ilmu di atas kaidah-kaidah yang benar, mampu mengucapkan dalil-dalil dari nash Al Qur’an dan Al Hadist dengan pelafadzan yang shahih tanpa ada kesalahan dan kekeliruan dan dapat memahami ilmu dengan pemahaman yang benar sesuai yang diinginkan (oleh Allah dan Rasulnya). Terlebih lagi dengan hal itu kita bisa mendapatkan faedah dari seseorang yang ‘alim berupa adab, akhlaq dan sikap wara’.

Hendaknya bagi penuntut ilmu untuk menjauhi, jangan sampai menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya. Karena barang siapa menjadikan kitab-kitab sebagai gurunya niscaya akan banyak kekeliruan dan sedikit kebenaran. Dan terus-menerus hal ini berlangsung sampai zaman kita sekarang ini. Tidaklah kita jumpai seorang yang menonjol dalam bidang keilmuan melainkan pasti ia berada dibawah bimbingan tangan dan didikan orang ‘alim.

Perjalanan ulama dalam menuntut ilmu tak hanya dengan satu atau dua orang guru saja. Bahkan ada yang sampai ribuan, seperti Al Hafizh As Sam’ani yang belajar kepada 7000 Syaikh.

6. Masa yang Panjang. Seorang penuntut ilmu jangan sampai menyangka bahwa menuntut ilmu itu cukup hanya dengan sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Karena sesungguhnya menuntut ilmu membutuhkan kesabaran bertahun-tahun.

Al Qadhi Iyadh suatu ketika pernah ditanya ”Samapi kapan seseorang harus menuntut ilmu?”. Beliau menjawab: “ Sampai ia meninggal dan ikut tertuang tempat tintanya ke liang kubur.

Al Imam Ahmad mengatakan: “Aku duduk belajar Kitabu Haid selama Sembilan tahun, samapi aku benar-benar memahaminya.” Terus menerus para penuntut ilmu yang cerdik bermajelis dengan para ulama, ada di antara mereka yang selama sepuluh tahun, dua puluh tahun, bahkan ada diantara mereka yang menghabiskan umurnya menuntut ilmu bersama para ulama sampai Allah ta’ala memwafatkannya.

Nasehat yang indah dari seorang Imam besar kepada para penuntut ilmu.Dan hanya memohon kepada Allah ta’ala semoga member taufik dan hidayah kepada kita untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan beramal shalih.

Kamis, 15 Juni 2017

AMALAN DIHARI JUM'AT

RINGKASAN AMALAN-AMALAN SYAR’I DI HARI JUM'AT

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

➡1. Mandi jum'at (seperti mandi janabat), sebagaimana pendapat kebanyakan para ulama (bahkan sebagian ulama berpendapat mandi jum'at adalah wajib bagi yang hendak menghadiri shalat jum'at). Waktu mandi Jumat dimulai sejak terbit fajar.
➡2. Bersiwak
➡3. Memakai pakaian yang terbaik dan terindah, berdasarkan kesepakatan para Ulama (sebagaimana perkataan Ibnu Quddamah rahimahullah)
➡4. Mengenakan parfum (minyak wangi).
➡5. Anjuran untuk membaca surat khusus ketika shalat subuh di hari Jumat
Surat As-Sajdah di rakaat pertama dan surat Al-Insan di rekaat kedua.
➡6. Menyegerakan pergi ke masjid untuk menghadiri shalat jum'at, kalau bisa datang sedini mungkin, semakin cepat semakin baik.
➡7. Menuju masjid dengan berjalan kaki, bukan dengan menaiki kendaraan, berdasarkan kesepakatan Ulama (sebagaimana dikatakan oleh Imam An-Nawawi).
➡8. Berjalan menuju masjid dengan penuh ketenangan.
➡9. Shalat jum'at di masjid yang terdekat dengan tempat tinggal anda.
➡10. Sholat tahiyyatul masjid (meski khatib sedang khutbah).
➡11. Mendekat kepada khatib, tidak memisahkan antara dua orang dan tidak melangkahi pundak-pundak manusia.
➡12. Melakukan shalat tathawwu' (shalat sunnah mutlak) hingga khatib naik ke mimbar.
➡13. Diam, mendengar khutbah dan tidak berbuat yang sia-sia seperti memainkan kerikil, jari-jari, HP, jenggot dan lain-lain Karena bila khatib berkhutbah anda juga berbicara atau bahkan bermain dengan sesuatu semisal kerikil , HP atau lainnya, maka pahala shalat jum'at anda sia-sia.
➡14. Mengarahkan wajah kearah khatib ketika ia berkhutbah, berdasarkan Ijma' para Ulama. (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Quddamah rahimahullah).
➡15. Apabila sang khatib bershalawat atas Nabi sallalahu alaihi wasallam, maka hendaklah orang yang mendengarkan juga membaca shalawat tanpa mengangkat suara.[Al-Lajnah Ad-Da'imah : 8/217].

➡16. Ketika khutbah sedang berlangsung, maka tidak dibolehkan menjawab orang yang bersin, demikian pula membalas salam, menurut pendapat yang lebih kuat dikalangan ulama.[Al-Lajnah Ad-Da'imah : 8/242].
➡17. Barangsiapa yang kehilangan 1 raka'at dari sholat jum'at, hendaklah melengkapi kekurangan 1 raka'at, dan dia dianggap mendapatkan sholat jum'at,  sebagaimana diterangkan didalam hadits yang shohih.[Al-Lajnah Ad-Da'imah : 8/225].
➡18. Melaksanakan Sholat Jum'at (wajib bagi laki-laki).
➡19. Boleh menegakkan sholat jum'at, meskipun jumlah orang yang menghadirinya kurang dari 40 orang, berdasarkan keumuman firman Allah Ta'ala dalam Surah Al-Jum'ah ayat 9.[Al-Lajnah Ad-Da'imah :8/215].
➡20. Shalat sunnah rawatib setelah shalat jum'at 2 rakaat atau 4 rekaat (dengan dua kali salam).
➡21. Membaca surat Al-Kahfi di malam dan hari Jum'at hingga selesai.
➡22. Memperbanyak shalawat dan salam kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam di malam dan hari Jum'at
➡23. Memperbanyak doa, karena pada hari jum'at terdapat satu waktu yang
mustajab, terutama saat khatib naik mimbar sampai sholat dan setelah sholat Ashar sampai maghrib.

Oleh karena itu hendaknya berdoa dengan segala bentuk doa yang diinginkan baik untuk kebaikan dunia maupun akhirat, baik untuk diri kita sendiri maupun utk seluruh muslimin.

➡24. Mengurangi aktifitas termasuk kajian atau ceramah agar bisa menghadiri shalat jum'at dengan khidmat.
➡25. Memberikan wewangian pada masjid dengan bukhur atau sejenisnya, sebagaimana pendapat Jumhur Ulama.
➡26. Bersedekah pada hari ini memiliki keistimewaan dibandingkan hari-hari lainnya (sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya 'Zadul Ma'ad').
➡27. Memotong Kuku.

📜Catatan :
Memotong kuku disunnahkan kapan saja waktunya, dan tidak terikat
dengan waktu-waktu tertentu, seperti hari Jum'at atau Kamis.
Karena dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan tersebut dha'if (lemah).

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

__
📝Abu Syamil Humaidy حفظه الله تعالى

📡 Raih amal shalih dengan menyebarkan kiriman ini , semoga bermanfaat. Jazakumullahu khoiron.

RENUNGAN DI BULAN RAMADAN


Wahai Saudaraku...

Ramadhan telah hadir padamu...
Kenapa masih juga lalai dan santai...?
Apakah merasa sudah pasti dan yakin masuk Surga, dan diampuni semua dosa yang tidak terkira...?

Bergegaslah dan raihlah kesempatan...
Kumpulkan bekal yang banyak untuk akhirat...
Lelahkan diri dalam amalan shalih...
Tinggalkanlah segala kesibukan dunia...

Imam Ibnul Jauzi رحمه الله berkata :

"Lihatlah, wahai orang yang malang ketika engkau penuhi siangmu dengan haus dan lapar dan engkau hidupkan malammu dengan sujud dan ruku', lalu engkau merasa benar-benar telah berpuasa dan engkau bisa memasti-mastikan dalam kebodohan itu...!

Dimanakah kerendahan hati dan ketundukanmu ?
Dimanakah ketundukanmu kepada Maulamu (Allah) ?
Apakah engkau mengira bahwa dirimu itu disisi Allah sudah termasuk pelaku puasa yang sukses pada bulan Ramadhan ? Demi Allah, sekali-kali tidak...!

Engkau belum mencapai derajat itu sebelum engkau mengikhlaskan niat sehingga ia tulus murni dan engkau bersihkan jiwamu serta engkau perbagus kualitasnya, kemudian engkau benar-benar hindari amalan-amalan yang hina serta tidak pernah engkau perhatikan lagi...!?" (Bustaanul Waa'izhiin hal 315).

Imam Ibnu Rajab رحمه الله berkata :

"Wahai orang yang menghabiskan usianya tanpa ketaatan...!
Wahai orang yang terlena pada bulan Ramadhan dan juga bahkan di sepanjang hidupnya...!
Wahai orang yang kegemarannya adalah penundaan dan pelalaian dan itu sungguh sebuah kegemaran yang sangat jelek...!
Wahai orang yang membuat al-Qur'an dan bulan Ramadhan memusuhinya...!
Bagaimanakah mungkin engkau akan mengharapkan sesuatu dari hal-hal yang sudah menjadi musuhmu nanti di hari kiamat...!" (Wazhoo'ifu Romadhon hal 77)

Imam Abdurrahman bin Mahdi رحمه الله berkata :

"Aku tidak pernah bergaul dengan orang yang lebih perasa dari Sufyan ats-Tsauri. Aku pantau dia dari satu malam ke malam yang lain. Ternyata, ia hanya tidur di permulaan malam, lalu bangun dalam keadaan cemas dan gemetar, sambil berkata :

"Neraka, Neraka. Ingat Neraka membuatku tidak bisa tidur dan lupa syahwat...!"

Setelah itu, ia berwudhu dan berdo'a :

"Ya Allah, Engkau tahu segala kebutuhanku dan aku hanya meminta-Mu membebaskanku dari Neraka...!

Wahai Tuhanku...
kecemasan membuatku menjadi orang perasa dan itu salah satu nikmat yang Engkau berikan kepadaku...

Wahai Tuhanku...
andai aku punya alasan kuat untuk mengisolir dari manusia, aku tidak akan bergaul dengan mereka sekejap mata pun"

Setelah itu, ia sholat dan menangis, hingga tidak bisa membaca al-Qur'an dan aku tidak dapat mendengar bacaannya, karena tangisannya menjadi-jadi. Aku tidak sanggup melihatnya, karena malu dan segan kepadanya" (Shifatush Shofwah III/149).

Saudaraku, sudah seperti inikah kondisi kita dalam menghayati al-Qur'an yang dibaca, lalu timbul rasa takut kepada Allah Ta'ala di bulan Ramadhan...?

Wallahualam

PANDUAN PRAKTIS ZAKAT UANG KERTAS

✏Oleh
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz Lc, MA

Dalam kitab-kitab fiqih klasik disebutkan bahwa zakat dikenakan pada emas dan perak dalam fungsinya sebagai alat tukar. Dan saat ini hampir tidak ada satu negara pun yang menggunakan emas dan perak sebagai alat tukar. Kini fungsi emas dan perak sebagai alat tukar telah digantikan dengan uang kertas yang secara intrinsik tidak bernilai.

📮 A. ADAKAH KEWAJIBAN ZAKAT PADA UANG KERTAS ?

Barangkali ada di antara kaum Muslimin yang bertanya-tanya, apakah uang kertas bisa diperlakukan sama dengan emas dan perak dengan pertimbangan uang tersebut dapat digunakan dan diakui sebagai alat tukar, sehingga ada padanya kewajiban zakat; Atau justru sebaliknya, uang tersebut tidak bisa diperlakukan sama dengan emas dan perak dengan memandang nilai intrinsiknya, sehingga dengan demikian tidak ada kewajiban zakat padanya ?

Dalam masalah ini para Ulama telah membicarakannya dan terjadi perbedaan pendapat di antara mereka menjadi dua pendapat :

➡Pertama : Tidak ada kewajiban zakat pada uang yang dimiliki oleh seseorang kecuali jika diniatkan untuk modal usaha dagang. Jika diperuntukkan sebagai uang nafkah atau disiapkan untuk pernikahan, atau yang semisalnya maka tidak ada zakatnya.

➡Kedua : Ada kewajiban zakat pada setiap mata uang (uang kertas) yang dimiliki atau dikumpulkan oleh seseorang dari hasil keuntungan usaha dagang atau hasil sewa rumah atau hasil gaji atau yang semisalnya, dengan syarat uang itu telah mencapai nishâb dan berputar selama satu tahun hijriyah. Kewajiban zakat ini tanpa membedakan, apakah uang yang dikumpulkan itu diniatkan untuk modal usaha dagang atau untuk nafkah atau untuk pernikahan, atau tujuan lainnya.

Diantara dalil-dalil pendapat kedua ini adalah keumuman firman Allâh Azza wa Jalla :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka. [at-Taubah/9:103]

Demikian pula berdasarkan keumuman sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal z saat beliau mengutusnya ke negeri Yaman :

أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Ajarkan kepada mereka bahwasanya Allâh telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta-harta yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka.” [HR. Bukhâri II/544 no. 1425, IV/1580 no.4090, dan Muslim I/50 no. 31, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhuma]

Dan uang termasuk harta benda yang secara umum terkena kewajiban zakat, karena uang dengan berbagai jenisnya yang beredar pada saat ini dan berlaku secara umum pada muamalah kaum Muslimin, telah menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.

🔰*TARJIH* : Setelah memaparkan dua pendapat Ulama di atas, maka râjih (benar dan kuat) bagi kami adalah pendapat kedua berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Yaitu adanya kewajiban zakat pada mata uang apapun yang masih berlaku di Negara mana pun. Pendapat ini yang difatwakan oleh Komite Tetap untuk Urusan fatwa dan Pembahasan Ilmiyyah, KSA yang diketuai oleh Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa al-Lajnah ad-Daimah (IX/254, 257), Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ (VI/98-99, 101), dan selainnya.

📮 B. SYARAT WAJIBNYA ZAKAT UANG

Setiap mata uang (uang kertas) yang berlaku di negara mana pun, baik berupa rupiah, riyal, dolar, yen, ringgit atau selainnya –baik disimpan maupun tidak– wajib dikeluarkan zakatnya jika telah memenuhi dua syarat sebagaimana zakat emas dan perak. Dua syarat tersebut ialah :

➡Pertama : Telah mencapai nishâb, yaitu senilai nishâb emas (20 dinar/85 gram emas murni), atau senilai nishâb perak (200 dirham/595 gram perak murni).

➡Kedua : Harta senishâb (atau lebih) itu telah berputar selama satu tahun hijriyah sejak dimiliki. Sedangkan kadar zakatnya adalah sebesar 2,5 % (dua setengah persen).

💶 Kewajiban zakat atas uang kertas itu diqiyaskan dengan kewajiban zakat pada emas dan perak. Karena ada kesamaan ‘illat (sebab hukum) pada keduanya (uang kertas dengan emas-perak). Illat (sebab hukum) nya adalah sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). ‘Illat ini adalah ‘illat yang disimpulkan (‘illat istinbath) dari berbagai hadits yang mengisyaratkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah), yang menjadi landasan kewajiban zakat pada emas dan perak. Di antaranya hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَهَاتُوا صَدَقَةَ الرِّقَةِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِرْهَمًا دِرْهَمٌ

Maka datangkanlah (bayarlah) zakat riqqah (perak yang dicetak sebagai mata uang), yaitu dari setiap 40 dirham (zakatnya) 1 dirham. [HR. Abu Daud I/494 no.1574, At-Tirmidzi III/16 no.620, dan Ahmad I/92 no.711, dari Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhuma].

Penyebutan kata “riqqah” (perak yang dicetak sebagai mata uang) dalam hadits di atas –dan bukan dengan kata fidhdhah (perak)— menunjukkan adanya sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). Dan sifat ini tak hanya terwujud pada perak atau emas yang dijadikan mata uang, tapi juga pada uang kertas yang berlaku sekarang, meski ia tidak ditopang dengan emas atau perak. Maka uang kertas sekarang wajib dizakati, sebagaimana wajibnya zakat pada emas dan perak.

*Oleh karena itu, siapa saja yang mempunyai uang yang telah memenuhi dua syarat di atas, yaitu mencapai nishâb dan telah berputar selama satu tahun hijriyah, maka wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 % (dua setengah persen) dari total uang yang dimiliki.*

📮 C. STANDAR NISHAB ZAKAT UANG KERTAS*

Berkenaan dengan nishâb zakat uang, mungkin ada yang bertanya pula, manakah standar yang dipakai, nishâb emas (20 Dinar/85 gram emas murni), ataukah nishâb perak (200 dirham/595 gram perak murni), jika fakta uang kertas yang ada tidak dijamin oleh emas dan perak seperti halnya di Indonesia maupun di kebanyakan negara lain ?

🔖 Sebagian Ulama di zaman sekarang berpendapat bahwa yang jadi patokan dalam zakat mata uang (uang kertas) adalah nishâb perak. Karena inilah yang bisa menggabungkan antara nishâb emas dan perak. Demikian juga, dengan menggunakan nishâb perak akan lebih bermanfaat bagi orang-orang fakir miskin.

🔖Ada pula diantara para Ulama yang berpendapat bahwa yang dijadikan patokan dalam zakat mata uang (uang kertas) adalah nishâb emas.

*Di antara alasan mereka adalah sebagai berikut* :

➡1. Nilai perak telah berubah setelah zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan zaman-zaman sesudahnya. Hal ini berbeda dengan emas yang nilainya terhitung stabil.

➡2. Jika disetarakan dengan nishâb emas, maka itu akan setara atau mendekati nishâb zakat lainnya seperti nishâb pada binatang ternak (onta, sapid an kambing, pent). Nishâb zakat onta adalah 5 ekor, nishâb pada zakat kambing adalah 40 ekor, dan yang semisalnya. [Lihat Shahîh Fiqhis Sunnah II/22].

🔰 Dari dua pendapat di atas, *kami (penulis) lebih cenderung dan memilih pendapat kedua yang menggunakan standar nishâb emas untuk zakat mata uang (uang kertas)* karena alasannya yang begitu kuat. Demikian pula karena mengingat meningkatnya standar biaya hidup dan melonjaknya berbagai kebutuhan. [Lihat al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu karya Wahbah Az-Zuhaili, II/773].

📮 D. CARA MENGHITUNG DAN MENGELUARKAN ZAKAT UANG*

Setelah kita ketahui dan tetapkan bahwa standar nishâb zakat uang adalah nishâb emas, yaitu 20 dinar atau 85 gram emas. Maka cara untuk menghitung dan mengeluarkan zakat uang adalah sebagaimana berikut ini :

🔵 Sebagai contoh permasalahan : Bila sekarang (Oktober 2011) harga emas murni Rp.550.000,-/gram. Maka cara mengetahui nishâb dan kadar zakat mata uang (uang kertas) adalah sebagai berikut:

✅ Nishâb Mata Uang = 85 gram x Rp.550.000,-/gram = Rp.46.750.000,-

💶 Kalau misalkan seseorang punya uang tabungan sebesar Rp. 50.000.000, (Lima Puluh Juta Rupiah), berarti uang yang dimilikinya sudah melebihi nishâb (Rp.46.750.000,-). Kalau uang yang telah mencapai nishâb ini sudah dimilikinya selama satu tahun hijriyah, maka zakatnya yang wajib dikeluarkan adalah = 2,5 % x Rp. 50 juta = Rp. 1.250.000 (Satu Juta Dua Ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).

📮 E. BOLEHKAH MENGELUARKAN ZAKAT SEBELUM TIBA WAKTUNYA ?

Menurut mayoritas Ulama diperbolehkan mengeluarkan kewajiban zakat sebelum tiba waktunya karena termasuk menyegerakan kebaikan. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu, ia berkata :

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ

Bahwasanya al-’Abbas bin Abdul Muththalib bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu. [HR. Ahmad I/104 no.822, Abu Dawud I/510 no.1624, At-Tirmidzi III/63 no.678, Ibnu Majah I/572 no.1795, dan yang lainnya. Syaikh al-Albâni menilai hadits ini hasan dalam Irwâ’ al-Ghalîl (no. 857) dengan syawahid (riwayat-riwayat penguat) yang ada]

📃 Demikian penjelasan singkat tentang panduan praktis zakat uang kertas serta tata cara menghitung dan mengeluarkannya. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi penulis dan pembacanya, amiin. Wallahu Ta’ala A’lam Bish-Showab.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 10/Tahun XV/1433H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

📁 Sumber: almanhaj.or.id

✨I'TIKAF✨


🕌🕌🕌
I’TIKAF

I’tikaf secara syariat maknanya adalah berdiam diri di mesjid yang dilakukan oleh Individu tertentu dengan cara-cara yang khusus dengan diiringi niat.

»» Hukum I’tikaf adalah Mustahabah berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

وَلآ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ

Artinya : 
*_"Dan janganlah kamu menyentuh mereka, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid."_*
(QS. Al-Baqarah : 187)

Serta dari sunnah sebagaimana dalam hadits Aisyah, Ibnu Umar dan Abu Sa’id Radhiyallahu’ anhum :

أن النبي صلى الله عليه و سلم كان يعتكف في العشر الأواخر من رمضان

Artinya : 
_"Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam biasa melakukan i’tikaf pada sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan."_
(Mutaffaqun Alaihi)

Dan dinukilkan Ijma’ tentang mustahabnya I’tikaf kecuali bagi yang bernadzar untuk melakukan I’tikaf maka hukumnya menjadi wajib baginya untuk menunaikannya.
👉🏻 Diantara yang menukilkan ijma’ dalam permasalahan ini diantaranya : Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah, An-Nawawi dan Ibnu Abdil Baar.
Adapun I’tikaf nadzar maka wajib untuk ditunaikan sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar Radhiyallahu’ anhuma :

لَمَّا قَفَلْنَا مِنْ حُنَيْنٍ سَأَلَ عُمَرُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَذْرٍ كَانَ نَذَرَهُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ اعْتِكَافٍ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَفَائِهِ

Artinya : 
_"Ketika kami tiba dari perang Hunain, Umar bertanya kepada Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam tentang nadzar, Dia (Umar) telah bernadzar ketika masa Jahiliyah untuk melakukan I’tikaf , Maka Nabi Shalallahu ‘alahi wassallam merintahkan kepada Umar untuk menunaikannya."_
(HR. Bukhori No. 4320 dan Muslim No. 1646)

»» Diperbolehkan untuk tidak menyempurnakan Itikaf, maknanya apabila seseorang berniat untuk beri’tikaf selama sepuluh hari kemudian pada hari ketiga dia membatalkannya maka tidak ada dosa baginya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dan Imam As-Syafi’i.
Sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam telah membatalkan I’tikafnya  pada bulan Ramadhan dan kemudian ber’tikaf pada bulan Syawal. Sebagaimana dalam hadits Aisyah :

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ

Artinya : 
_"Nabi beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Maka, aku membuatkan untuk beliau sebuah tenda. Setelah shalat subuh, beliau masuk ke dalam tenda itu.Kemudian Hafshah meminta izin kepada Aisyah untuk membuat sebuah tenda pula, maka Aisyah mengizinkannya. Kemudian Hafshah membuat tenda. Ketika Zainab binti Jahsy melihat tenda itu, maka ia membuat tenda yang lain. Ketika hari telah subuh, Nabi melihat tenda-tenda itu Lalu, Nabi bertanya, ‘ apa ini?’ Maka, beliau diberitahu Lalu, Nabi bersabda, Bagaimanakah sebaiknya menurut pikiran kamu mengenai mereka? ‘ Lalu, beliau menghentikan i’tikafnya dalam bulan itu. Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari (terakhir) bulan Syawal."_
(HR. Bukhori No. 2033 Muslim No. 1173)

»» Dan boleh melakukan I’tikaf di luar bulan Ramadhan sebagaimana Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam dalam hadits ini melakukan I’tikaf di bulan Syawal. Dan tidak disyaratkan harus berpuasa ketika melakukannya kecuali apabila dia bernadzar untuk melakukan I’tikaf dalam keadaan berpuasa .
Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Musaayib, Umar Bin Abdul Aziz, As-Syafi’i,Ibnul Mundzir,Ishaq dan satu riwayat yang terkenal dari Ahmad Rahimahumumullah .

==> Disyaratkan beri’tikaf pada mesjid-mesjid yang ditegakkan padanya sholat Jama’ah sehingga tidak perlu keluar dari mesjidnya
tempat beri’tikaf untuk menghadiri Sholat Jama’ah. Ini Adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad dan Ishaq dan Abu Tsaur Rahimahumullah .

Dan bagi para wanita tidak sah melakukan I’tikaf kecuali di mesjid sehingga tidak boleh melakukannya di dalam rumah atau kamar, ini adalah pendapat Ahmad dan As-Syafi’i. Sebagaimana  dalam hadits Aisyah Radhiyallahu’ anhu yang baru saja lewat .

Dan tidak ada batasan waktu paling sedikit untuk melakukan I’tikaf, I’tikaf sah walaupun dilaksanakan beberapa saat dengan diiringi niat tentunya. Ini adalah pendapat As-Syafi’i, Dawud dan satu riwayat dari Ahmad dan pendapat ini yang dipilih oleh Ibnul Mundzir Rahimahumullah.

»» Dan berdasarkan Ijma’ boleh bagi orang yang beri’tikaf untuk keluar dari mesjid untuk kencing dan buang hajat. Dinukilkan Ij’ma dalam permasalahan ini oleh lebih dari satu ulama diantaranya adalah Ibnul Mundzir dan Ibnu Qudamah Rahimahumallah. Adapun keluar dari mesjid untuk perrkara-perkara yang dia butuh kepadanya seperti makan dan minum, maka diperbolehkan apabila tidak ada yang mengantarkan kepadanya. Sebagaimana dalam hadits Aisyah Radhiyallahu’ anha :

وَكَانَ لا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلآ لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا

Artinya : 
_"Dan apabila beliau beri’tikaf, maka beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali apabila memiliki keperluan."_
(HR. Bukhori No. 2029 dan Muslim No. 297)

Begitu juga boleh untuk keluar dari mesjid dalam rangka menunaikan sesuatu yang wajib, misalkan seseorang melakukan I’tikaf di mesjid yang tidak ditegakkan sholat Jum’at maka boleh baginya untuk keluar menuju mesjid yang ditegakkan di dalamnya sholat Jum’at.

Apabila keluar dari Mesjid tanpa adanya kebutuhan maka i’tikafnya menjadi batal walaupun hanya sebentar, Ini adalah pendapat Imam Madzhab yang empat.

Adapun apabila yang keluar dari mesjid hanya sebagian anggota tubuhnya saja, maka tidak mengapa . Sebagaimana dalam hadits Aisyah Radhiyallahu’ anha :

كان النبي صلى الله عليه و سلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله

Artinya : _"Rasulullah Shalallahu ‘alahi wassallam apabila beliau beri’tikaf, beliau memasukkan kepalanya kepadaku maka kemudian aku menyisir rambut beliau."_
(HR. Bukhari No. 2031 dan Muslim No. 297)

Bagi yang ingin melakukan I’tikaf pada 10 hari bulan Ramadhan, maka I’tikafnya dimulai ketika terbenamnya matahari pada tanggal 20 Ramadhan, Ini adalah pendapat ulama-ulama madzhab yang empat dan pendapat beberapa ulama dan pendapat ini yang dikuatkan oleh Syaikh Muqbil bin Hady Rahimahullah . Karena hari dimulai dengan terbenamnya matahari sebagaimana sholat tarawih yang tidak dilaksanakan kecuali pada bulan Ramadhan dilaksanakan pada malam setelah terbenamnya matahari di hari terakhir bulan sya’ban, ini dalil yang menunjukkan bahwa hari dimulai pada terbenamnya matahari.

Dan selesai I’tikaf pada terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan (malam Ied) . Ini adalah pendapat As-Syafi’i dan Al-Auza’i Rahimahumullah .

👉🏻 Dan tidak disyariatkan untuk menempuh perjalanan jauh untuk berziarah ke mesjid tertentu tanpa memiliki tujuan lainnya, Hal ini berdasarkan kesepakatan Imam madzhab yang empat. Dan dikecualikan pada 3 mesjid, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu’ anhu , RasulullahShalallahu ‘alahi wassallam bersabda :

لا تُشَدُّ الرِّحَالُ الا إِلَى ثَلاثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى

Artinya : ”Dan tidaklah bersusah payah melakukan perjalanan jauh kecuali ke tiga Mesjid : Masjidil Al-Haram, Mesjid Rasul (Mesjid Nabawi)  dan Mesjid Al-Aqsha” (HR. Bukhori 1189 dan Muslim No. 3384)
______

✍🏻 Ust. Zakaria Ibnu Dzulkifli As Samarindy hafidzahullah